Jumat, 17 April 2020

Contoh Cerpen “Matahari Tak Terbit Pagi ini Dan Contoh-contoh cerpen lainnya

Kabid Dikdas
CONTOH CERPEN “Matahari Tak Terbit Pagi ini Dan Contoh-contoh cerpen lainnya|Contoh Cerpen, pada kali ini akan memberikan contoh cerpen, Contoh cerpen tersebut diambil dari sumber-sumber buku bacaan dan di memudahkan anda dengan memposting Contoh cerpen ini agar tidak perlu beli buku lagi. Contoh Cerpen ini  dapat kita lihat seperti dibawah ini…
  
Contoh Cerpen

Contoh Cerpen 
“Matahari Tak Terbit Pagi ini
karya Fakhrunnas MA. Jabbar”
Pernahkah kau merasakan sesuatu yang biasa hadir mengisi hari-harimu, tiba-tiba lenyap begitu saja? Hari-harimu pasti berubah jadi pucat pasi tanpa gairah. Saat kau hendak mengembalikan sesuatu yang hilang itu dengan sekuat daya, tetapi tak kunjung tergapai. Kau pasti jadi kecewa seraya menengadahkan tangan penuh harap lewat kalimat doa yang tak putus-putusnya. Bukankah kau jadi kehilangan kehangatan karena tak ada helai-helai sinar ultraviolet yang membuat senyumnya begitu ranum selama ini. Matahari bagimu tentu tak sekadar benda langit yang memburaikan 

kemilau cahaya, tetapi sudah menjadi sebuah peristiwa yang menyatu dengan ragamu. Bayangkanlah, bila matahari tak terbit lagi. Tidak hanya kau, tetapi jutaan orang kebingungan dan menebar tanya sambil merangkak hati-hati mencari liang langit,tempat matahari menyembul secara perkasa dan penuh cahaya.
Kaulah matahari itu, Bidadariku. Berhari hari kau merekat kasih hingga tak terkoyak oleh waktu, tiba-tiba kita harus berpencar di bawah langit menuju sudut-sudut yang kosong. Kekosongan itu kita bawa melewati jejalan kesedihan. Kita harus terpisah jauh menjalani kodrat diri yang termaktub di singgasana lauful mahfudz. Semula kita begitu dekat. Lantas terpisah jauh oleh lempengan waktu.
Kita mengisi halaman-halaman kosong kehidupan kita dengan denyut nadi. Sesudahnya, kita bertemu bagai angin mengecup pucuk-pucuk daun dan berlalu begitu mudah. Dan kita pun bertemu lagi dengan perasaan yang asing hingga kita begitu sulit memahami siapa diri kita sebenarnya. 
Di ruang kosong yang semula dipenuhi pernik cahaya matahari, kita bertatap muka penuh gairah. Di perjuru ruang kosong itu bergantungan bola-bola rindu penuh warna dan aroma. Bola-bola itu bergesekan satu dengan lain, mengalirkan irama-irama lembut Beethoven atau Pavarotti. Irama itu menyayat-nyayat hati kita hingga mengukir potongan sejarah baru. Bagaikan sepasang angsa putih yang menari-nari di bawah gemerlapan cahaya langit, sejarah itu terus ditulisi berkepanjangan. Lewat ratusan kitab, laksa aksara. Akan tetapi, setiap penjalanan, pasti ada ujungnya. Setiap pelayaran, ada pelabuhan singgahnya. Setiap cuaca benderang niscaya ditingkahi temaram, bahkan kegelapan.
Andai sejarah boleh terus diperpanjang membawa mitos dan legendanya, dirimu boleh jadi termaktub pada pohon ranji sejarah itu. Boleh jadi kau akan tampil sebagai permaisuri ataupun Tuanku Putri yang molek. 
Mungkin, berada di bawah bayang-bayang Engku Putri Hamidah, Puan Bulang Cahaya, ataupun siapa saja yang pernah mengusung regalia kerajaan yang membesarkan marwah perempuan.
Aku, tiba-tiba, jadi kehilangan sesuatu yang begitu akrab di antara kutub-kutub kosong itu. Kusebut saja, kutub rindu. Aku tak mungkin menuangkan tumpukan warna di kanvas yang penuh garis dan kata ibarat sebab lukisan agung ini tak kunjungi selesal. Masih diperlukan banyak sentuhan kuas dan cairan cat warna-warni hingga lukisan ini mendekati sempurna. Kita telah menggoreskan kain kanvas kosong itu sejak mula hingga waktu jeda yang tanpa batas.
Masih ingatkah kau bagaimana langit-langit kamar itu penuh getar dan kabar? Tiap pintu dan tingkap dipenuhi ikrar kita. Dan bola lampu temaram memburaikan janji-janji. Sebuah percintaan agung sedang dipentaskan di bawah arahan sutradara semesta. Kau membilang percik air yang berjatuhan di danau kecil di sudut pekarangan jiwa dalam kecup dan harum mawar. 
Bahkan, tubuh kita terguyuri embun yang terbang menembus kisi-kisi tertangkap hingga tubuh kita jadi dingin. Malam-malam penuh mimpi dan keceriaan bagaikan sepasang angsa yang mengibas-ngibaskan bulu-bulu beningnya. Kauredupkan cahaya lampu di tiap penjuru hingga sejarah dapat dituliskan secara khidmat dan penuh makna. Kaumenatap langit-langit kamar sambil membisikkan untaian puisi yang kau tulis dengan desah napasmu. Kita merecup semua getar irama percintaan itu tiada batas.
Malam itu, siapa pun tak butuh matahari. Sebab, ada bulan yang bersaksi. Kita hanya butuh setitik cahaya guna penentu arah belaka. Selebihnya, sunyi menyebat kita dan tiupan angin yang melompat lewat kisi-kisi jendeha yang agak terdedah. Dengan apakah kuhukiskan pertemuan kita, Kekasih? Chan sempat bertanya seketika. Ah, tak cukup kata memberi makna, 
katamu. Dan isyarat sepasang angsa yang saling menggosokkan paruh-paruhnya. Bagaikan peladang, kita pun sudah pula bertanam dan menebar benih. Kelak katamu, akan ada buah yang bakal dipetik sebagai kebulatan hati yang begitu mudah terjadi tampa paksa dan janji. Dan kita pun terus saja bertanam agar daun-daun yang bertumbuh kelak dapat menangkap fotosintesa matahari. Di tiap helai daun itu bermunculan nama kita sebagai sebuah keabadian. Andai matahari tak terbit lagi saat pagi merona, kita masih menyimpan sedikit cahaya di helai-helai daun yang berguncang diembus angin sepanjang Begitulah saat kau berada jauh kembali ke garis hidupmu, aku begitu ternganga sebab cahaya tak ada. Memang, tak pernah matahari tak terbit memeluk bumi. Tetapi, bagi kita, kala berada jauh, keadaan begitu gelap dan sunyi tiba-tiba. Kita merasa begitu kehilangan. Kita merasa ada yang terenggut tanpa sengaja. Serasa ada yang tercerabut dan akar yang semula menghunjam jauh di tanah. Kita bagaikan orang tak punya pilihan saat berada di persimpangan tak bertanda. Syukurlah, kita tak pernah kehilangan arah tempat bertuju di perjalanan berikutnya. Hidup ini penuh gurindam dan bidal Melayu yang memagari ruang dan Iangkah kita menuju titik terjauh yang harus dilompati. Kata-kata yang berdesakan di bait puisi dan lirik lagu menebar wangi hari-hari takkan kutemul wanita seperti dirimu takkan kudapatkan rasa cinta ini kubayangkan bila engkau datang kupeluk bahagia kan daku kuserahkan seluruh hidupku menjadi penjaga hatiku Suara Ari Lasso lewat “Penjaga Hati” itu mengalir : pelan-pelan dan tembok-tembok kegelapan yang mengepungku. Benar kata : emak dulu, kita akan tahu akan makna sesuatu ketika ia telah berlalu. Apalagi berada jauh yang tak tersentuh. Matahari tak terbit pagi mi.Begitulah kita merasakan saat diri kita berada di kutub yang berjauhan. Diperlukan garis waktu untuk mempertemukan kedua tebing kutub itu. Atau, kita harus kuat merenangi laut salju yang kental atau Menyelam di bawah bongkahan es yang dingin menyengat tubuh. Begitu diperlukan segala daya untuk menemukan sesuatu yang lenyap, begitu cepat saat diri memerlukan setitik cahaya. Apa perasaanmu kini? Kau tela kesendirian itu di kejauhan sambil berharap matahari akan bercahaya segera menerangi kisi-kisi hati yang tersapu luka rindu kita. Andai kita bisa menolak gumpal awan dan menyeruakkan matahari kembali, begitulah : takdir yang hendak kita bentangkan di kitab sejarah sepanjang masa. Tetapi, kita akan cepat lelah. Menyeruakkan awan untuk menyembulkan garang matahari bukanlah hal yang mudah. Kita butuh sejuta tangan dan cakar untuk menaklukkan segenap awan dan matahari itu. Kauingat kan, kisah Qays dan Laila atau Romeo dan Juliet yang memburaikan banyak kenangan bagi jutaan orang? Kau pun ada dalam bagian kisah yang tak pernah lekang di panas dan lapuk di hujan itu. Selalu ada manik-manik kasih mengalir di samudra kehidupan yang maha luas ini Mëski kadangkala suaramu tersekat melempar tanya kala anugerah kasih ini terbit di ujung usia. Tak bolehkah kita mereguk kebahagiaan di sisa waktu yang masih tersedia meski semua jalan yang terbuka di depan bagai tak berujung jua? “Aku takut bila aku berubah. Tetapi, tak akan pernah, Pangeranku,” ucapmu pelan. Sungguh, matahari tak terbit pagi ini. Bagai aku kehilangan dirimu yang berhari-hari menangkap cahaya hingga memekarkan kelopak bunga di jiwa. Percintaan ini penuh wangi dan warna. Penuh hijau daun dan kupu-kupu yang menyemai spora di mahkota bunga.
Garis panjag waktu itu mendedahkan kemungkinan-kemungkinan yang sulit diraba. Banyak ancamanyang siap mengepung kita hingga merobek tabirsetia. Ya, kesetiaan tak kasatmata. Hanya ada dibilik hati, tapi tak bisa. Pintu hati itu tak etiap waktu bisa terbuka anda kau bangun esok pagi, perkenankan selalu matahari terbit seperti janji yang diucapkan pada semesta. Di helai cahaya matahari itu, selalu ada kehangatan yang meresap dikeping-keping jiwamu.  


Contoh cerpen. Itulah contoh cerpen yang di posting , semoga bermanfaat dan beredukasi . dan ada baiknya anda share dan like agar semua masyarakat lebih mudah mendapatkan dan berbagi dengan sesama. Terima kasih telah berkunjung. Semoga bermanfaat. Amin. ( Sumber : Cerds Berbahasa Indonesia Untuk SMA/MA kelas X,Penulis : Engkos Kosasih, Penerbit : Penerbit Erlangga, Percetakan PT Gelora Aksara Pratama ) .